Jumat, 15 September 2017

Situs Congapan, Potret Kehidupan Jember di Masa Kuno

 Diyakini Areal Sekitar Prasasti Tempat Studi Ilmu Agama

   Situs burbakala, mulai dari era Pra-sejarah, Klasik sampai kolonial banyak ditemui di kabupaten Jember. Salah satunya Prasasti Congapan. Dari salah satu peninggalan tulis tertua ini diyakini, wilayah Jember sudah ada kehidupan manusia dua abad sebelum lahirnya kerajaan Majapahit.
BUKTI SEJARAH: Situs di Dusun
Congapan, Desa Karangbayat, Kecamatan
Sumberbaru ini berupa prasasti yang diprediksi
berangka tahun 1088 M atau 1010 Saka.
   WUJUD fisik Prasasti Cngapan ini berupa batu andesit berukuran panjang 200 cm dan lebar 145 cm.  Membujur dari utara ke selatan dengan dua buah ceruk di salah satu sisi atasnya.
Selain itu, terdapan pahatan kalimat berbunyi Sarwwa Hana dan Tlah Sanak Panggilanku. Rangkaian kalimat inilah yang lantas mengidentifikasi kapan prasasti tersebut dibangun.
   Untuk mencapai lokasi prasasti itu, harus dilakukan dengan jalan setapak melintas pematang sawah warga di Dusun Congapan, Desa karangbayat, Kecamatan Sumberbaru. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari pusat kota Jember.
   Tidak sedikit juga warga sekitar yang mayoritas etnis Madura, menyebut bagunan yang berwujud bongkahan batu adesit itu sebagai Batu Palempekan. Palempekan semdiri dalam bahasa madura artinya tempat yang diisi minyak untuk penerang



                                        Warga Sekitar Menyebut Batu Palempekan
   Salah seorang pegiat sejarah Jember, Y. Setyo Hadi menduga, dua buah ceruk di salah satu sisi atas prasasti tersebut dulunya dipakai sebagai lentera berbahan bakar minyak kelapa. Sebab, selain berdasarkan testimoni masyarakat sekitar, dugaanya itu juga mengacu pada sejumlah referensi yang menjelaskan hal serupa.
   "Jadi pada dua ceruk itu seperti menggambarkan bisa dialiri minyak kelapa, dan di beri sumbu sebagai lentera," ujarnya.
   Dia juga memperkirakan, di areal prasasti itu dulunya merupakan tempat studi ilmu agama (semacam pesantren jaman sekarang).
   Pikiran itu dikuatkan dengan adanya sejumlah batu bersusun seperti candi di sisi utara. Di mana, pada sejumlah tempat di daerah lain yang sempat di temukan batu-batu bersusun semacam itu terungkap jika dulinya merupakan bekas tempat hunian serta persembahan.
   Sementara itu dokumen sejarah yang pertama kali mengkaji ikhwal Pasasti Congapan ada sejak 1904. Kala itu, Dinas kepurbakalaan Pemerintahan kolonial Hindia Belanda mencatatnya dalam Rapporter Van De Commissie In Nederlandsch Indie Voor Oudheidkunding Ondorzoek of Java en Madoera 1904 (laporan dari komisi di Hindia Belanda untuk Penelitian Kepurbakalaan di Jawa dan Madura Tahun 1904).
   Kajian selanjutnya dilakukan oleh W.F. Stutterhiem pada tahun 1937, yang mengupas terkait rangkaian tulisan di bagian atas prasasti, berupa aksara pallawa dengan bahasa sansekerta, dalam artikelnya yang berjudul De Batoe Pelambean Bij.
   Kalimat pertama yang tersusun miring dan berbunyi Sarwwa Hana berasal dari dua kata Hana yang artinya serba ada Sarwwa yang dimaksudkan Dewa Siwa. Rangkaian kalimat kedua yang membujur datar bertuliskan Tlah Sanak Pangilanganku diartikan: Habis saudaraku, Penghilanganku, atau kehilanganku.
   Pada era 70an, seorang arkeolog dari UGM, Sukarto K. Atmojo, juga melakukan studi tentang Prasasti Congapan. Yang menghasilkan penafsiran bahwa rangkaian tulisan yang tersemat pada Prasasti Congapan sejatinya merupakan kronogram yang menunjukkan angka tahun. Kronogram merupakan kalimat yang memperlihatkan (mengandung arti) tahun atau jaman.
   Dia mengurai satu persatu sengkalan dari tiap kata dalam urutan kedua kalimat tersebut "Tlah Sanak Pangilanganku". Menurutnya, kata tlah berarti habis, dan melambangkan kata "0". Sementara itu, kata sanak mengandung arti saudara, serta melambangkan angka "1". Pangilanganku pada pada penggalan kata terakhir merupakan gabungan dua kata yang masing-masing memiliki arti, yaitu aku dan ilang. Aku melambangkan angka "1", sementara ilang melambangkan angka "0". Praktis kalimat tersebut membentuk deretan angka 0101.
Sesuai dengan aturan susuna konogram, angka-angka tersebut mesti dibaca dari belakang, atau dari kanan kekiri, hingga membentuk susunan angka 1010.
   Menurut Setyo Hadi, dari hasil penelusuran itu Sukanto menyimpulkan jika 1010 tersebut merupakan bunyi tahun Saka: yakni 1010 Caka, atau bertepatan dengan 1088 Masehi.
"Ini merupakan waktu dibangunnya Prasasti Congapan ," jelasnya.
   Berdasarkan kajian, Setyo Hadi menyebut jika kisaran tahun tersebut merupakan saat dimana Raja  Air langga dari Kerajaan Kahuripan berkuasa.
   Sementara itu, sekitar dua abad kemudian, tepatnya 1293, kerajaan tersebut di Nusantara, Majapahit, baru berdiri.
   "Jadi kalau ditelisik lebih dalam, sebenarnya Kabupaten Jember ini memiliki sejarah yang panjang," pungkasnya. Karena ada indikasi, sebelum kejayaan Majapahit di Jember sudah ada kehidupan manusia. (was/hdi)

Sumber: Jawa Pos Radar Jember Minggu, 07 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar