Kamis, 14 September 2017

Ronie Parero, Desainer Muda yang Menembus Kancah Nasional

Sempat Ditentang Orang Tua, Mampu Buktikan Prestasi dari Pelosok Desa


   Lambat namun pasti, pemuda dari Jember ini mampu meneliti karier sebagai desainer jempolan. Namanya banyak disebut-sebut sebagai salah satu desainer berbakat.

   BAGI Ronie Parero, berkarier sebagai di dunia seni sudah menjadi passion atau gairahnya sejak lama. Semula, sedari kecil ia menyukai seni lukis. Jenuh di seni lukis, saat menginjak sekolah menengah pertama, Ronie mulai menekuni dunia musik dengan memilih alat musik keyboard.
   Hingga kemudian dia mulai mantap di dunia desain busana sejak sekolah menengah atas hingga kini berkarier sebagai fashion desaigner. Selain mendisain busana, Ronie juga menekuni profesi sebagai make up artist (MUA). "Dunia lukis dan make up artist dasarnya kan sama ya, hanya beda medium. Satunya berkreasi di kanvas, satunya lagi di wajah manusia," tutur Ronie kepada Jawa Pos Radar Jember.
   Pilihan untuk menjadi perancang busana dan perias wajah profesional bukanya tanpa rintangan. Seperti kebanyakan orang tua lain, ayah dan ibu Ronie kurang merestui ketertarikan putranya itu terhadap dunia seni. Selain dianggap tidak prospektif, profesi sebagai perancang busana bagi seorang pria, dianggap lekat dengan stereotip negatif seperti kesan feminim bagi pria
   Menimba Pengalaman dengan Bergabung di JFC
   "Saya dulu sebenarnya sangat ditentang oleh keluarga untuk menekuni profesi ini. Orang tua berharap saya bisa berprofesi di bidang kesehatan karena keluarga banyak yang berkarier sebagai dokter atau paramedis," putra pasangan Haji Zubaidi dan Hajjah Nurfadila ini.
   Karena itulah, selepas menyelesaikan pendidikannya di SMPN 1 Jatiroto, orang tua Ronie mengarahkan anaknya untuk melanjutkan sekolah di MAN 1 Jember. Mereka berharap, dengan bersekolah di sekolah agama, sealin bisa menekuni pendidikan agama, Ronie juga bisa mengalihkan ketertarikannya dari dunia seni yang tidak direstui orang tuanya itu. "Wah awalnya agak kaget juga      Mas, dari sekolah umum kesekolah agama," cerita Ronie sambil tersenyum.
Namun justru dari pendidikan di madrasah aliyah itulah, Ronie mulai menemukan jalan untuk total berkarier di dunia fashion. Terlebih, saat kelas dua, Ronie bergabung di Jember Fashion Carnaval, asuhan Dynand Fariz, desainer asli Jember yang sudah punya nama di tingkat nasional dan internasional.
   "Saya cukup dekat dengan Mas Fariz (pangilan akrab Dynand Fariz, Red). Dari beliau, saya belajar banyak tidak hanya tentang dunia fashion, tapi juga sikap profesional dalam menekuni dunia fashion ini," kata bungsu dari dua bersaudara ini.
   Dari JFC, Ronie mendapatkan banyak ilmu di bidang fashion seara gratis, mulai dari make up, desain busana, runway dan segala hal lain terkait busana. Selain itu, dia juga mulai direktur oleh Dynand Fariz sebagai staf lepas di JFC, yakni di bagian kreatif.
   Meski dengan bayaran relatif minim, pengalaman bergabung di JFC dirasakannya menjadi sebagai safe berharga dalam hidupnya, yang menjadi batu pijakan dalam menekuni profesi dibidang fashion.
"Tujuan saya waktu itu memang mencari pengalaman dan ilmu, bukan sekedar mencari materi. Tanpa beliau, mungkin saya tidak bisa seperti sekarang ini," tutur Ronie.
   Bagi Ronie, Dynand Fariz sangat disiplin dalam mendidik dirinya. Pernah misalnya ia datang terlambat lima menit ke suatu brifing. Keterlambatan itu karena saat itu hujan deras dan ban motornya pecah. Karena sedang tidak membawa uang cukup, Ronie tidak bisa meninggalkan motornya untuk naik angkutan umum.
    "Saya dimarahi habis-habisan, disuruh berdiri saat hujan. Disalahkan kenapa tidak naik lin, padahal memang saya tidak punya uang," tutur pemuda asli Desa Sumberbaru ini.
   Tetapi alih-alih memendam rasa marah, hukuman dari sang mentor itu dia rasakan amat membekas dalam membentuk sikap disilin. Karena itulah, hingga kini, Ronie mengaku terbiasa untuk datang tepat waktu jika memiliki janji dengan orang lain, terutama klien.
   Selain disiplin, ajaran lain yang ia tertima adalah kerja keras untuk meraih hasil yang diinginan. Bagi Ronie, fashion tidak sesederhana yang dipandang sebagian orang.
   "Seringkali orang juga salah paham manilai fashion. Semisal desainer yang menciptakan baju yang mungkin modelnya tidak disukai orang dari sudut pandang tertentu. Padahal sebenarnya, seorang desainer memiliki maksud khusus sesuai tema besar yang ia rancang," jelas ronie.
   Namun tentangan dari orang tua bagi Ronie untuk menekuni dunia fashion, tidak terhenti saat ia sekolah di madrasah aliyah. Salah satu yang dia ingat adalah ketika mengikuti lomba desain busana disalah satu pusat fashion yang ada di Jakarta. Gelaran Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) yang diikuti Ronie pada 2013, kalau itu merupakan salah satu lomba desain paling terkemuka dan bergengsi di Indonesia. Namun, karena tidak merestui, orang tua enggan membiayai keikutsertaannya ke Jakarta.
   "Saat itu saya harus jual laptop dan ponsel saya. Karena modal untuk mendesain, membeli bahan dan juga berangkat kesana, mencapai jutaan rupiah," tutur Ronie.
   Namun pengorbanan Ronie tidak sia-sia. Dari ratusan peserta yang ikut dari berbagai penjuru tanah air, Roni berhasil menjadi pemenang tiga besar. Sistem lomba sat itu tidak ada peringkat untuk pemenang tiga besar. Ronie saat itu mengaku mempelajari terlebih dahulu selera juri untuk kemudian menyesuaikan dengan rancangan gaun malamnya yang bertema glamour and elegant.
   "Dewan jurinya adalah Krisdianti sebagai representasi artist, kemudian biyan sebagai wakil fashion designer dan seorang lagi saya lupa. Saya melihat merapikan cutting-an, karena menurut saya, itu merupakan salah satu kriteria utama penilaian," ujar pria yang juga mengemari rancangan busana Biyan tersebut. 
   Kemenangan dari lomba desain di Jakarta, juga menjadi pintu masuk kariernya sebagai fasion designer. Namanya mulai menanjak dan mulai banyak pesanan yang masuk dari kalangan atas. Selain itu, ia juga mendapat beasiswa kursus fashion designer dari ESMOD, salah satu sekolah busana internasional yang ada di Jakarta.
   Selain itu, beberapa rancangan busana juga juga kerap menjadi langganan beberapa artist terkemuka seprti Okky Lukman, Dewi Persik, dan Yuni Shara. "Sebenarnya kalau bagi saya, merancang busana untuk artis tidak selalu lebih hebat dari pada orang biasa. Karena kalau untuk artis kita juga biasanya semi sponsor atau endorse," tutur Ronie.
   Namun, peluang peluang berkarier yang cerah di ibu kota, rupanya tidak lantas membuat Ronie untuk berpaling dari kampung halamannya di Jember. Ia hanya betah kurang dari setahun untuk berkarier di Jakarta. Usai menyelesaikan kursusnya beberapa bulan, Ronie pulang ke Jember dan memulai kariernya dari rumahnya yang ada di Desa Sumberbaru yang ada dipelosok ujung Jember.
   Meski demikian, Pulang kekampung tak lantas membuat kariernya sebagai perancang busana meredup. Ia memanfaatkan sosial media untuk mempertahankan dan dan menambah kliennya. "Cukup efektif sosial media itu. Saya sampai sekarang masih punya klien di Solo, sudah empat tahun langganan tapi tidak pernah ketemu sama sekali," jelas Ronie.
   Untuk memperkuat namanya sebagai perancang busana, Ronie sejak akhir 2014 mulai membuka galeri yang dia bangun di rumahnya yang ada di Desa Sumberbaru. Modal ratusan juta dia gunakan untuk membangun galeri tersebut, yang bersumber dari tabungannya selama 4 tahun bekerja di industri ekonomi kreatif.  
   "Punya galeri,bagi perancang busana itu penting untuk meyakinkan klien. meskipun lokasinya di kota kecil tidak masalah, karena sekarang teknologi informasi sudah kian maju," jelas Ronie.
   Awal membuka galeri, tidak lantas pesanan ikut ramai. Pada masa awal, Ronie juga sempat merasakan fase-fase yang menjadi hambatan bagi entrepreneur, yakni sepi pesanan. Namun secara perlahan, dengan mengutamakan kualitas, ia berhasil menjaring semakin banyak klien.
   Rata-rata, omset bersih yang bisa dia kantongi setiap bulannya mencapai Rp 10 juta. "Tidak menentu sih Mas, kalau sepi ya sepi kalau ramai bisa sampai bersihnya Rp 50 juta. Biasanya ramainya kalau jelang puasa dan Lebaran. Juga jelang Agustusan," tutur Ronie.
   Setelah mulai membuktikan pilihan hidupnya dengan prestasi, cibiran-cibiran yang dia terima dari beberapa kerabatnya mulai berkurang. Sebelumnya, memang beberapa keluarganya banyak yang meremehkan pilihan hidupnya untuk menjadi fashion designer. "Bagi saya, sakit hati adalah motifasi terbesar. Alhamdulillah sekarang sudah tidak ada yang mencibir pekerjaan saya," ujar Ronie.
   Untuk memperkuat posisi brandingnya, tahun ini ia juga mulai berinvestasi dengan membangun website khusus, dengan namanya sendiri. Selain itu, ia kini juga mulai menerima tawaran untuk membuka galeri di Semarang. Seorang pejabat kejaksaan di kota tersebut, menawarinya untuk mengunakan rumahnya yang kosong sebagai galeri. Dia masih mempelajari fashion di kota tersebut.     Baginya, setiap kota memiliki selera fashion tersendiri. Di Jawa Timur, menurutnya ada tiga kota yang punya potensi fashion cukup besar, yakni Surabaya, Malang, dan Jember. "Di Jember sebenarnya ada banyak potensi fashion muda. Semoga pemerintah setempat bisa mewadahi potensi tersebut untuk mengerakkan ekonomi kreatif di kota ini," pungkas Ronie. (ad/c1/hdi)

Sumber: Jawa Pos Radar Jember Selasa, 25 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar