Jumat, 15 September 2017

Siti Fatimah, Perempuan di Balik Kesuksesan Cilok Edi

Padahal Dulu Sehari Bisa Dapat Rp 10 Juta

BERTAHA DITENGAH PERSAIGAN:
Siti Fatimah (kiri) ketika berada dirumah
produksi cilok Edi, bersama karyawannya.
    Siapa yang tidak kenal dengan Cilok Edi. J
atuh bangun merintis makanan ini pernah mereka lalui. Semua itu tidak lepas dari Siti Aminah, istrinya. Bahkan ketika berhenti produksi karena hasil tidak seimbang, sang istri justru mengajak bangkit lagi.
    CILOK Edi, begitulah nama bisns yang ditekuni oleh SAiti Fatimah dan Harsono, warga kelurahan  Tegalgede. BIsnis makanan yang sudah familiar di daerah perkotaan ini hanya bermodal Rp 150 ribu. Namun dari hasil tersebut, pasangan itu sekarang menjelma jadi orang kaya baru.
    Betapa tidak, hasi jerit payahnya dari berjualan cilok itu, sekarang di investasikan pada bisnis lain.  Seperti 15 rumah kontrakan, 2 hektare sawah, 2 apartemen, dan rumah kos. "Dulu sempat berhenti karena, karena hasilnya tidak sasuai," kata Fatimah ketika di temui di tempat produksi cilok Edi.
    Pencapaian itu bukan berarti tanpa tantangan, sebab ujian sering kali datang. Seperti pegawai yang tidak jujur. Awalnya hanya berdua dengan sang suami, namun sekarang sudah memiliki 20 karyawan yang beketja padanya.
    Siti Fatimah mengingat kembali masa lalu saat berjuang menjual cilok bersama suaminya, tahun 1997.



                                           Jaga Mutu Cilok, Awasi Proses Produksi
    Idenya berawal dari orang tuanya yang berjualan cilok di Bali. Sedangkan Jember masih belum ada makanan sejenis itu.
    Waktu itu, kata dia, suaminya hanya seorang abang ojek dengan sepeda kredit. Karena tidak mampu membayar, akhirnya sepeda diambil dan uang muka dikembalikan. Kemudian, uang muka tersebut dibelikan becak, jadilah suaminya abang becak.
    Namun demikian, penghasilan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, yakni sekitar Rp 5.000 per hari. Karena itulah, dia nyambi sebagai honorer pasukan kuning di Dinas Pekerjaan Umum dan Cipta Karya. "Saya sendiri pernah bekerja jadi buruh di gudang tembakau," tuturnya.
    Hingga saat bapaknya pulang dari Bali tahun 1997, Siti Fatimah menirukan bisnis bapaknya, yakni jual cilok daging. Di Jember, selama ini yang ada hanya cilok tepung, sedangkan yang dicampur dengan daging tidak ada. "Modalnya hanya Rp 150 ribu. Rp 100 ribu untuk gerobak, Rp 50 ribu untuk daging," jelasnya.
    Saat itu, kenag ibu tiga anak tersebut, dirinya nyelep sendiri daging ke kreyongan setengah kilogram, kemudian diolah sampai menjadi cilok. Sedangkan yang memasarkan cilok keberbagai tempat adalah suaminya sendiri. "Dari pada becak, lebih baik jual cilok," ujarnya.
    Setiap pagi sampai malam, suaminya berjualan keliling Alun-Alun Jember, Antirogo, Kaliwates, dan kawasan lainnya. Namun hasilnya tidak sesuai harapan, sebab jualan tidak pernah habis. Bahkan, dulu ketika menjual kesekolah, wali murid tidak memperbolehkan anaknya karena makanan baru.
    Tak kunjung mendapatkan hasil yang maksimal, Harsono mulai patah arang. Sebab, penghasilan tak sesuai dengan harapan. Akhirnya dia memilih jadi abang becak lagi selama dua bulan. "Saya minta suami agar berjualan cilok lagi mungkin rezekinya dari sana," ingat Fatimah. Akhirnya Harsono kerja narik becak lagi dan jualan cilok. Penghasilan becak hanya Rp 5000. Sedangkan berjualan berjualan cilok bisa Rp 10 ribu.
    Ada air ada ikan, ada usaha, ada rezeki. Peribahasa itu tepat untuk menggambarkan kondisi Harsono dan Siti Fatimah. Cilok Edi semakin dikenal. Orang tua siswa yang awalnya tak mau makan, kini mulai ketagihan karena memiliki rasa yang berbeda.
    Harsono semakin semangat, setiap pagi pukul 09.00 dia menjual cilok di sekolah-sekolah, utamanya jam 13.00 di SMP. Lalu sorehari berkeliling di daerah perkotaan. Setahun berlalu permintaan semakin banyak. "Akhirnya kami mengajak karyawan untuk ikut bekerja," akunya.
    Selain itu, daging yang di selep terus bertambah setiap waktu. Dar 1,5 kilogram menjadi 25 kilogram. Bakan memasang telepon rumah. Jadi ketika cilok sudah habis, Harsono tinggal menelepon istrinya untuk membuat lagi. "Tahun 2000 an itu mulai dikenal, hingga ambil tenaga orang lain karena tenaga sendiri sudah tidak nutut," paparnya.
    Sejak saat itulah, cilok Edi mulai naik daun. nntaan datang dari berbagai daerah untuk ikut menjualkan makanan tersebut. Mulai dari Probolinggo , Bondowoso, dan Lumajang. "Namun setiap kali ada cabang diluar daerah, selalu tidak jujur," ujarnya.
    Cilok Edi sempat mamiliki sepuluh rombong, namun sekarang hanya enam rombong yang ada di sekitar kampus. Satu hari mampu mencapai penghasilan Rp 6 juta, bahkan lebih. "Sekarang sudah semakin banyak yang jualan cilok, itu tantangannya. Padahal dulu bisa dapat Rp 10 juta sehari," imbuhnya.
    Untuk itulah Siti Fatimah selalu mengawasi proses pembuatan cilok agar mutunya tidak pernah berubah. Mulai dari rasa, besar kecilnya cilok dan lainnya. Selain itu, juga mengatur keuangan yang diperoleh dari penjualan cilok. "Katanya orang yang enak sausnya, rasa kacang," tutur ibu dari Fara dan Roaini tersebut.
    Kesuksesan yang telah diraih  sepasang suami istri tersebut tidak lepas dari kesabaran dan keuletan. Baginya, berbisnis membutuhkan kesabaran dan kejujuran. Sehingga bisa memperoleh hasil yang barokah. "Selain itu, juga memperhatikan kualitas, mutu dan pelayanan," pungkasnya. Dan dari hasil cilok inilah, pelan-pelan dia investasikan kebidang lain, seperti properti, tanah atau bangunan. (gus/c1/hdi)

Sumber: Jawa Pos Radar Jember Sabtu, 06 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar