Minggu, 17 September 2017

Asiatul Mardiyah, Tunametra yang menjadiPeserta Ujian Sekolah SD

Belum Lancar Baca Braille Panjang, Dibimbing Oleh Pengawas
SATU-SATUNYA PESERTA TUNANETRA: Asiatul Mardiyah satu-satunya tunanetra yang
menjadi peserta ujian sekolah (US) di SDLB Bintoro.

    Asiyatul Mardiyah menjadi satu-satunya peserta US yang menyandanf tunametra. Meski harus dibantu oleh pengawas, Semangatnya tidak bisa dipandang remeh. Tubuh kecilnya takbisa menahan cita-cita besar: menjadi guru.
    PENDIDIKAN berhak untuk diterima oleh segala kalangan. Tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Tidak hanya bagi mereka yang memiliki anggota tubuh lengkap, tetapi juga mereka yang menyandang keterbatasan fisik. Tak hanya mereka ynag memiliki kondisi finansial berlebih, namun hal yang sama juga berhak didapat oleh kaum papa.
    Walaupun didera keterbatasan, tak sedikit para penyandang disabilitas yang memiliki semangat belajar tinggi. Ini terlihat pada seluruh siswa Sekolah Inklus atau Sekolah Luar Biasa (SLB) Bintoro, Patrang. Sewbagian besar siswanya merupakan penyandang berbagai jenis ketunaan, dan berasal dari berbagai kalangan.
    Salah satu siswanya tampak sedang berada di sebuah ruangan. Hanya ada tiga orang diruang tersebut. Seorang saja yang mengenakan seragan putih merah diruangan itu. Dia adalah Asiatul Mardiyah, sswa kelas 6SDLB Bintoro, Patrang. Asiah, panggilan akrabnya, juga merupakan satu-satnya peserta US di sekolah tersebut.
    Dengan didampingi dua orang guru  disamping kiri dan kanannya, matanya terbuka, namun memandang lurus tanpa ekspresi. sementara, tangannya bergerak lincah meraba lembaran kertas yang sekilas tampak kosong, Namun sebenarnya terdapat titik menonjol yang menampakkan huruf Braille. sesekali tangannya meraih Stirus dan membuat pola pada kertas lain yang menjadi lembar jawabannya



Diantar Jemput Sekolah oleh Kakak
    Dua jam dilewatinya dengan lancar, meskipun sempat terkendala di awal-awal pengerjaan. Maklum, di mata pelajaran bahasa Indonesia yang berlangsung pada hari pertama UN, hampir seluruh soal yang tertera merupakan bacaan panjang, membuatnya cukup kerepotan karena harus menginterpretasikan soal sebanyak itu. "Agak susah soalnya banyak bacaannya," tuturnya ketika usai mengerjakan ujian hari pertama.
    Rahman, salah satu guru yang mendampinginya di hari pertama ujian mengungkapkan, Asiah memang cukup kesulitan dalam membaca huruf Braille. Meskipun sebenarnya sudah cukup mahir, namun karena bacaan di soal cukup banyak, tak urung dia cukup kesulitan mengatasinya.
    "Awalnya kita biarkan dia semampunya, tapi setelah setengah jam kemudian kami tanya sudah sampai mana, ternyata baru sampai nonor sembilan dari 50 pertanyaan. Jadi kami memutuskan untuk bantu membacakan soalnya," Ujar Rahman.
    Menurut dia, kemampuan Braille Asiah sebenarnya sudah bagus, mengingat dia sudak mempelajarinya sejak lama. Apalagi ketunaan Asiah merupakan ketunaan yang 100 persen tdak bisa melihat. "Awalnya dia bisa melihat, tatapi karena sakit dan menjalani operasi kini dia sama sekali tidak bisa melihat," lanjutnya.
   Gadis kalahiran 17 Maret 2000 tersebut memang baru duduk di kelas 6 SD. Keterbatasan penglihatan yang menyebabkan pendidikannya terganggu. Karena kondisi finansial yang terbatas, Asiah tidak bisa menjalani pendidikan dengan lancar. Dia harus mengulangi kembali pendidikannya saat di TK saat baru masuk ke sekolah inklusitersebut. "Dulu waktu masuk sini, kembali ke Tk lagi, sekitar akhir tahun 2000-an," tutur Asiah dengan suaranya yang lirih.
    Bungsu dari enam bersaudara ini kini hanya tingal bersama ibu dan kakaknya. Ayah dan empat kakaknya yang lain sudah lebih dulu meninggalkan dunia ini. "Dirumah ya tinggal bertiga, sama pakdhe dan mbah yang rumahnya persis di sebelah rumah saya," ujarnya.
    Ibunya hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, sementara Hidayatul Mutafiah sang kakak masih menempuh pendidikan dibangku kuliah sembari mengajar di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dini dekat rumahnya.
    Dulu, karena tidak ada yang bisa memastikan kehadiran Asiah di sekolah, setiap hari ada perwakilan guru yang menjemput Asiah di rumah dan membawanya kesekolah. Begitu pula dengan mengantarkannya pulang.
   Maryanto, kepala SDLB Bintoro mengungkapkan, karena tidak ingin Asiah berhenti sekolah, dia mengutus guru untuk antar jemput. "Tapi sekarang tiap hari kakaknya yang mengantar dan menjemput Asiah ke sekolah, di sela-sela kesibukannya," akunya.
    Melihat perjuangan dua orang yang paling dekat dengannya ini, Asiah tak mau main-main dalam menjalani pendidikannya. Cita-citanya tak main-main, ingin mencerdaskan anak-anak lain dimasa depan. "Pengen jadi guru, seperti kakak," ucap nya tegas ketika ditannya apa yang ingin dia lakukan ketika dewasa nanti.
    Meski memiliki keterbatasan, namun hal tersebut tak cukup mengungkung bakatnya. Menurut maryanto, Asiah cukup mahir bernyanyi. Bukan cuma sekali dua kali dia dikirim ke tingkat menyanyi. Karena itu dirinya yakin, kiprah Asiah tidak berhenti sampai disini saja. sama seperti siswa lainnya yang masaih mampu memberikan sumbangsih positif pada masyarakat. (c1/har)

Sumber: Jawa Pos Radar Jember senin, 22 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar